HIJAB

Cerpen Deccia Citra
(XII IPA1).

Hijab putih yang menutupi wajahku perlahan terbuka. Orang-orang di sekeliling berbisik memanggilku. Badanku lemah, tak cukup kuat untuk bangkit. Kepalaku pusing, mataku berkunang-kunang.

“Jab, hijab… Bangun. Sadarlah, nak” Bi Endah membangunkanku. Sambil menahan tangis. Aku tahu ia terisak-isak berbaur dengan alunan surat yasin yang sedari tadi dikumandangkan dipusara ibuku. Ya, ibuku sekarang di dalam sana, tanpa sempat ku meminta maaf.

Siang itu.

Prrang….

“Hijab bosen bu hidup begini, selalu susah. Hidup susah, makan susah, mau gaya-gaya susah. Ini dilarang itu dilarang. Pengen itu, selalu gak bisa. Hijab malu bu, Hijab pengen kaya orang-orang”

“Maafkan ibu ya nak, nanti kalau ibu sembuh ibu akan cari uang lagi. Hijab pengen apa nanti ibu belikan ya...”

Sambil menangis ibu membujukku. Sekali lagi, Prrang… Piring, gelas, pecah berantakan. “Kapan ibu bisa beli? Ibu Cuma bisa janji, tapi gak bisa beli!”

“Astaghfirullah, Hijab…” tangis ibu menjadi.

“Inget ya bu, panggil aku Nisa, namaku Anisatul Hijab. Jangan panggil Hijab. Norak!”

Ibu hanya menangis sambi bersimpuh.

“Udahlah bu, Hijab bosen hidup sama ibu. Hijab mau pergi!”

Dari kejauhan hanya tangisan ibu memanggil namaku yang ku dengar.

Sejenak di sekelilingku sepi. Banyak orang belalu lalang, tapi acuh. Serasa asing. Tatapan mereka aneh jika memandangku. Ah… apa peduliku sekarang aku bebas.

Tapi, sekarang aku mau kemana? Uang tidak ada,pakaian tidak sempat dibawa dan tempat berteduh untuk malam ini pun belum ku rencanakan. Di sakuku hanya terselip dua lembar lima ribuan dan satu buah HP yang dibelikan pacarku. Ah iya, kenapa tidak terpikir, malam ini aku disana saja. Pasti dia mau menerimaku.

Pintu pagar tersingkap, awalnya aku ragu, tapi ya sudahlah… apa yang salah, dia pacarku. Pasti mau membantuku, aku benar kan…?

Tanpa ragu ku buka pintu pagar dan aku terkejut melihat dia dengan perempuan lain. Oh Tuhan! Kepalaku pusing, nafasku sesak, mulutku tak bisa berkata-kata. Padahal ribuan hujatan yang ingin ku lontarkan. Sesaat aku tersihir. Air mataku mengalir deras. Dia hanya menatap. Langkahku gontai saat aku berjalan ke arahnya. Hanya satu kalimat yang bisa ku keluarkan dari ribuan hujatan di otakku. “Aku benci kamu…”

Mobil angkut yang ku tumpangi berjalan lambat. Penumpangnya hanya aku. Aku menangis sambil menghujat. Ada rasa penyesalan, menyesal mengenangnya dan menyesal karena tidak mendengarkan ibu. Ibu selalu bilang bahwa ia kurang suka dengan laki-laki itu. “Dia sepertinya bukan laki-laki baik-baik nduk…:” berkali-kali ibu bilang begitu. Ah… Ibu. Sedang apa ya sekarang?

HP ku berdering sms masuk.

Message from Denny

Nisa, cynk maf ne g ky qm kira, dy bkn cp2 cynk. Dgrin q dlu dund…pliz L

Aku balas singkat.

Kita putus!

Ah, harusnya dari dulu ku katakana ini.

Sekarang kemana tujuanku? Kembali ku otak atik HP. Ah iya, masih ada Vita, mungkin dia bisa membantuku. Best friend forever ever after itu selogan genk gonk kami.

Message to Vita

Hy Vit, U gy dmn? Bs tlngn w ga? L

Message from Vita

Hy Niz, U np? Tlngn pa neh?

Message to Vita

W cbut dr humz..W mlz ma nykap W. U bs ga tlngn W, mlm neh ngnep k humz U?

Plizzz….

Message from Vita

Sorry nis, w g bs.nyokap w glak.w bs blg pa ma nyokb lw u kbur dr rmh. Bza abiz W dcrmhn. Sory ya..

Message to Vita

Ywd dc gpp. Mkci ya…

Huft…. Kemana lagi? Hari mulai gelap, tapi sampai saat ini ku belum dapat tempat menginap. Ku coba hubungi temanku yang lain. Best friend forever ever after masih jadi penguatku.

Message to Rini

Rin, tlngn w dund… T_T

Message from Rini

U npe nIz..???

Message to Rini

W Pergi dr humz..mlm neh w gda tmpt ngnep. Bz gag w ngnep dtmpat U…??? L

Message from Rini

Mf ye cob,,, w gag bsa..kmr’y smpit, U tw kan w bwu2 cma de w,,mw dtro dmn U drmh W

Uh…teman ku yang ini memang terkenal pelit, disaat genting pun tetap pelit.

Angkot terus melaju. Pikiranku melayang. Butiran bening nan hangat mulai membasahi pipiku. Mataku panas. Disaat ku butuh begini, tak seorangpun yang bisa membantu, tak juga genk gonk Best friend forever ever after, ah bullshiiit!

Kenapa tho Nduk…? Suara hangat bersahaja menyapaku pelan. Aku tidak sadar sedari tadi sudah berapa kali gonta ganti penumpang. Dan yang tersisa hanya aku dan si ibu ini. Aku diam.

“Kok kelihatannya sedih?”

Aku hanya tersenyum. Si ibu juga tersenyum. Kami saling diam. Sesaat kemudian terlihat dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya

“Ayo diminum nduk, mumpung masih hangat…”

Ditangannya sebotol teh hangat yang ia bawa dari rumah, disodorkannya kepadaku.

“Mmmm…Makasih bu”

Si ibu tersenyum senang.

“Mau kemana tho nduk?”

“Gak tau bu, saya bingung.”

“Lho, kok ndak tahu, memangnya rumah kamu dimana?”

Aku hanya menggeleng.

“yowis, ikut saja kerumah ibu nduk…”

“Emm..tap,,tap,,,tapi bu..?”

“yowis ora opo-opo, ayu ikut saja. Mas, Aku tak ngiri yo…Aku mandeg neng kene wae”

Si ibu berteriak kepada supir dengan logat jawanya yang khas. Aku menurut sajalah. Toh malam ini aku belum mendapatkan tempat untuk menginap.

Si ibu menuntunku ke jalan setapak. Jalannya masih berbatu dan tanah merah. Agak becek, tampaknya baru saja hujan. Aku sedikit mengangkat celana jeans ku yang kepanjangan. Si ibu menyingkapkan roknya agar tidak terciprat air.

“Namamu sopo nduk?”

“Nisa Bu, Anisatul Hijab.”

“Apik tenan namamu nduk, Hijab. Pasri ibumu ingin anaknya tertutup, eh maksud ibu lebih menutup dan tahu batasan.” Si ibu meralat kata-katanya sambil terkekeh. Perkataan si ibu membuatku terhenyak. Aku ingat sewaktu aku SD kelas V. Siang itu, aku masuk rumah dengan terburu-buru. Sambil menangis, aku memeluk ibu.

“Bu, kenapa sih aku dipanggilnya Hijab? Enggak Nisa aja…?”

Ibu tersenyum, dan membelai rambutku.

“Memangnya kenapa tho nduk?”

“Kata teman-teman Hijab, namanya enggak keren bu”

“Ya jangan dengerin tho nduk… Hijab itu artinya penutup. Kelak ibu ingin kamu menjadi wanita yang bisa menutup auratmu dan menjaga batasanmu nduk.”

Desiran hangat terasa di kudukku.

“Lho kok bengong tho nduk…?”

Pertanyaan si ibu membuyarkan lamunanku

“Emmm,,, gak apa-apa ko bu. Emm… ini dimana bu?”

Ibu tersenyum.

“Disinilah rumah ibu nduk, di masjid ini. Ada kamar yang sudah disediakan pengelola masjid untuk ibu yang sebatang kara ini.”Aku kaget. Si ibu hanya tesenyum lebar melihat aku bingung.

“Pakai ini nduk… hijab ini cocok untukmu.Pasti cantik sekali”

Ku raih jilbab putih di tangan si ibu.

“Cepat ambil air wudhu lalu kau solat. Mengadulah kepada-Nya atas semua masalahmu, dan mintalah diberi jalan yang terbaik.”

Si ibu menuntunku ke tempat wudhu, setelah itu, aku solat, kakiku gemetar. Perlahan ayat suci yang ku ucapkan membuat dadaku sesak. Aku teringat ibu. Kejadian tadi siang melegakanku menjadi si malin kundang seperti dongeng orang tua zaman dulu. Astaghfirullah… Aku menangis dalam setiap gerak solatku.

Selesai salam, mataku mencari sosok si ibu yang baru ku kenal. Sekeliling tempat sepi masjid terasa dingin. Bulu kudukku merinding baru beberapa langkah aku mencari, tiba-tiba sekelilingku gelap. Mataku berkunang-kunang, pusing. Badanku limbung dan gubrak… Badanku terhempas.

“Nak…Bangun.”

Suara parau membangunkanku. imam masjid sudah datang untuk mengumandangkan azan subuh.

“Sa saya dimana ini pak…?”Ibu yang tinggal disini kemana?”

Aku bingung dan setengah sadar.

“Kamu sedang di masjid nak, tidak ada yang tinggal di masjid ini. Saya yang mengurus masjid ini, tapi saya tinggal dirumah yang letaknya tidak jauh dari sini.”

“Ta tapi pak, semalam ada seorang wanita yang mengajak saya ke masjid ini dan memberikan saya jilbab putih ini. Dia juga menyuruh saya solat disini. Lalu saya tidak tahu apa-apa lagi.”

Pak tua itu tersenyum.

“Wallahualam bishowab nak, yakinlah ini hidayah dari Allah SWT. Ayo siap-siap solat subuh.”

Aku masih bingung. Perlahan ku usap air wudhu ke wajahku. Segar, pikiranku sedikit tenang mungkin ini memang hidayah dari-Nya, pikirku.

Kuputuskan pagi itu untuk pulang ke rumah. Berharap ibu mau memaafkanku dan menerima ku kembali. Oh ibu, rasanya aku rindu.

Sayup-sayup terdengar lantunan surat yasin dari arah rumah. Sesaat berikutnya ku lihat bendera kuning bertengger di halaman rumahku. Ku percepat langkah untuk sampai ke rumah. Bi Endah dan Mang Iwang menyambutku dengan isak tangis.

“I i ibu kemana bi?”

“Ibumu … Ibumu Jab..huhuhu…”

Tangis Bi Endah menadi

“Ya Ibu kenapa?”

“Ibumu, ibumu telah meninggal.”

“Apa...??? meninggal mang? Innalillahi ..Ibu..huhuhu…”

Tangisku pecah. Rasa penyesalan teramat sangat bersarang di batinku.

Bi Endah menuntunku bangun semua terjadi begitu cepat. Kini ibu benar-benar pergi. Kembali aku teringat peristiwa di masjid semalam. Seperti mengisyaratkanku akan sesuatu. Hijab putih yang diberikan si ibu masih ku genggam. Kucium aromanya, tunggu, sepertinya ku kenal aroma ini. Aku bergegas ke kamar ibu menarik sesuatu, mukena. Ya, mukena yang sering dipakai ibu. Betapa kagetnya aku, ternyata aroma jilbab itu sama dengan aroma ibu yang khas saat solat. Aku hafal betul aroma ini. Subhanallah… Aku menangis. Lidahku keluh. Hanya memuji-Nya yang bisa ku lakukan. Ternyata hijab putih ini amanat terakhir ibu….

Tangerang, 25 September 2010


Tidak ada komentar:

Write a Comment

Terima kasih untuk membaca artkel ini. SIlakan berikan saran untuk perbaikan.
- Terima kasih.


Top