Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. (QS. 28:14).
ALLAH
menghendaki sesuatu 'untuk' kita dan menghendaki sesuatu 'dari' kita.
Manakala Allah swt menghendaki sesuatu dari dan untuk kita, itu pertanda
ada sebab atau faktor-faktor behind-screen, yang, terkadang luput dari perhatian kita. Secara eksplisit al-Quran menyatakan seperti itu:
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin, serta menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). (QS. 28:5).
Berfikir Matang
Di sini kita lihat beberapa fenomena. Diantaranya,
Pertama,
Allah SWT menyuruh ibunda Musa untuk menyusui Musa yang masih bayi itu.
Lalu ia pun menyusui Musa agar 'mengumpulkan' air susunya. Namun yang
terjadi kemudian Musa tidak pernah menerima air susu siapapun, selain
air susu ibunya. Kalau saja Allah swt tidak menyuruhnya menyusui Musa,
tentunya lebih baik menyuruh orang lain (baik khadimah/babysitter, atau orang lain) yang menggantikan posisinya. Tapi itu tidak terjadi.
Kedua,
sebelum dan sesudah Musa dilahirkan, ibunda Musa dikecam rasa takut
luar biasa. Bayangkan, kelahiran bayi laki-laki adalah ancaman mati.
Algojo-algojo Firaun siap menebas leher bayi siapa saja yang berjenis
kelamin laki-laki. Lalu, Allah swt memberi petunjuk: memerintahkannya
untuk menjatuhkannya ke Yamm (lautan lepas), agar sang bayi
melanglang, jauh dari jangkauan para intelijen Firaun. (Sekali lagi, ke
lautan lepas, bukan ke sungai Nil, apalagi Citarum!). Itu artinya bahwa
memang ada rasa takut, sedih, sekaligus 'kelapangan' hati melepas Musa
yang masih bayi dan tak mengerti apa-apa. Fakhrurraji, dalam tafsirnya,
memberi analisa lebih lanjut:
"ini adalah suatu isyarat tentang keyakinan yang mantap kepada Allah swt. Keyakinan atau tsiqah:
adalah salah satu bentuk penyerahan diri secara mutlak". Tidak bersedih
akan masa lalu, tidak takut akan masa depan. Risalahlah yang menjadi
tujuan utama. Musa sudah masuk 'nominasi' untuk meraih gelar kenabian.
Lalu,
Musa mencapai usia akil baligh, beroleh kesempurnaan akal, kearifan dan
hikmah. Tentu semua berkaitan dengan hati ibu yang (sekalipun) naluri
keibuannya terus dipicu konflik. Komposisi hati tersusun diantara emosi
atau rasa, sementara –barangkali- emosinya kontradiksi dengan
keputusannya yang tiba-tiba. Maka, binasa sudah langkah establisasi
untuk sang anak tercinta, hancur lebur hatinya menghadapi purna
kejutan: ketika kecil, sang anak dihantui teror, ketika dewasa dalam
bayang-bayang keganasan Firaun.
Tapi
Musa tetaplah Musa. Kendati berada dalam asuhan istana sang raja,
selain fisiknya kuat, hati dan spiritualitasnya tetap terjaga, tidak
terkontaminasi arogansi Firaun, manusia yang mengaku Tuhan itu. Musa tak
perlu hidup di zaman ini, yang mengenal agama sebagai "the ultimate
thing" doang. Setelah itu, hilang bersama fulus atau hujan Dollar.
Di balik kesempurnaan jasad dan ruh tersebut terkandung hikmah, yaitu, proses permulaan 'pengembalian' (intikas) kepada bentuk asal, seperti dalam firman Allah swt:
Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya, niscaya Kami kembalikan mereka kepada kejadian(nya). (QS. 36[Yaasin]:68).
Maksudnya:
Kami hentikan, tidak Kami tambahkan lagi kekuatan fisik dan mentalnya,
juga tidak Kami kurangi, kecuali para nabi. Dalam pengertian lainnya,
Musa as memang tengah berada di usia 'stabil'. Masa mudanya sudah
berlalu, akalnya sudah matang, jiwanya sehat, dan inderanya walafiat.
Sampai pada batas dimana naluri manusia tidak bisa bertambah lagi,
kecuali para nabi.
Begitu juga Musa alaihissalam.
Ini menjadi pelajaran bagi "manusia" sesudahnya: agar memilih target masa panjang dipersenjatai dengan agama, norma dan good morality, yang memungkinkannya meniti anak tangga menuju ke ketinggian martabat.
***
Sekarang timbul pertanyaan. Dalam surah Yusuf ayat 22 disebutkan: Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu, tanpa menyebutkan "…dan sempurna akalnya" (seperti yang tertera dalam surah Al-Qashash mengenai kisah nabi Musa as di atas). Mengapa?
Ahli tafsir memahami bahwa itu untuk menarik perhatian umat Islam sebagai manusia yang memiliki naluri hubbul istithla'
(hobi mengeksplorasi), sampai hati kita tenang. Ayat itu juga tidak
perlu diperbandingkan, karena wahyu memang berbeda. Wahyu yang
diturunkan kepada nabi Yusuf as adalah "wahyu ilham", sementara wahyu
untuk Musa as adalah "wahyu risalah". Itu artinya bahwa wahyu risalah
diperlukan nadj (kematangan berfikir) dan istiwa (kesempurnaan akal), berbeda dengan wahyu ilham yang tidak memerlukan dua hal tersebut.
Dengan
kata lain, Yusuf as tidak perlu sampai menunggu kesempurnaan akal
setelah ia mencapai akil baligh. Terbukti, ketika Yusuf dilemparkan ke
dalam sumur oleh saudara-saudaranya, saat itu wahyu turun:
"Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi". (QS. 12:15).
Benar,
karena manakala Yusuf bermimpi melihat bintang gemintang, matahari dan
bulan bersujud kepadanya, langsung ia ceritakan kepada ayahnya.
Adapun
Musa as., saat akil baligh dan berfikir matang, sama sekali tidak
melakukan hal tersebut, karena ia sendiri tidak tahu apa yang
dikehendakinya kecuali sesudah memasuki usia senja, melewati masa
perbudakan, berjalan bersama keluarganya, hingga melihat api di lereng
gunung Tursina. Wallahu a'lam. []
Penulis aktif dalam dakwah di dunia maya: http://religiusta.multiply.com/journal/item/35
Tidak ada komentar: