SEJAK
berbu-tibu tahun Mesir banyak melahirkan tokoh-tokoh besar dunia,
rezim, Nabi, ilmuwan, ulama, agamawan, pemikir, filsuf, bahkan penjahat
kelas dunia sekalipun. Tak mengherankan kalau tak seorangpun di dunia
ini yang tak ingin menjejaki tanah Mesir, terlepas dari berbagai
motivasi atau tujuan yag melatarbelakangi kepergian mereka ke negeri
itu. Ada yang sengaja datang untuk menimba ilmu agama, ada yang
bermaksud melakukan penelitian terhadap benda-benda kuno atau
situs-situs purbakala, atau mungkin hanya sekedar untuk mengunjungi
tempat-tempat wisata dan tempat-tempat bersejarah.
Kisah Ayah, Ibu dan Anak Teladan
Dari
sekian banyak tokoh, pemikir, para Nabi, filsuf dan lainnya, ternyata
ada satu sosok wanita yang paling dimuliakan Allah swt diantara sekian
banyak wanita sholehah di Mesir. Wanita mulia yang dimaksud adalah
isteri nabiyullah Ibrahim alaihissalam. Isteri super-ikhlas yang dibekali sifat-sifat terpuji dalam kesempurnaan kehidupan rumah tangganya. Pendek kata, beliau adalah tokoh wanita teladan dunia.
Hajar,
begitu namanya, dikenal paling pandai menjaga perasan suaminya
kendatipun Ibrahim, sang suami, sudah renta dan sepanjang hidupnya
bergelut dengan marabahaya. Kendati Ibrahim terancam tantangan dan
godaan hidup, tak terbersitpun dalam hati Hajar untuk membencinya. Ia lakukan segalanya dengan ketulusan lillahi ta'ala dan
penuh kesungguhan yang mengantarkannya pada kebahagiaan. Kehidupan yang
bersahaja dan perjuangan yang melelahkan dan penuh pengorbanan itu, tak lain hanyalah untuk menyenangkan hati suami tercinta,
Ibrahim as yang sudah memasuki usia senja. Ia berharap suatu saat
melahirkan buah hati tercinta yang akan mengisi kehidupan mereka dengan
penuh kebahagiaan. Hajar tidak menolak pilihan tersebut kendatipun usia
mereka terpaut sangat jauh.
Ibrahim
sejak belia memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan iman. Dengan
inisiatifnya sendiri Ibrahim meluluh lantakkan berhala-berhala yang
diciptakan orang tuanya sendiri. Sedangkan ayahnya memiliki ribuan
pelanggan patung, yang, tentu saja pengikut sesembahan ayahnya. Namun,
Ibrahim kecil bukanlah tipe bocah pengecut, ia tetap hancurkan
benda-benda najis itu.
Suatu ketika, peristiwa yang dinanti bertahun-tahun itu datang. Isteri tercinta, Hajar alaihassalam
melahirkan seorang putra yang gagah. Rasa syukur tak terhingga memenuhi
kalbunya. Dengan penuh kerendahan diri dan rasa haru tak tertahankan,
Ibrahim pun sujud syukur atas anugerah dan anugerah-Nya yang begitu
besar itu. Anak itu diberi nama Ismail.
Beberapa
hari sejak kelahiran bayi nan tampan itu, Ibrahim tiba-tiba terbangun
dari tidurnya. Ia menyuruh Hajar agar berjalan di belakangnya sambil
menggendong Ismail kecil. Ibrahim terus berjalan dari Siria di tengah
padang yang tandus dan berbukit-bukit, hingga tibalah ia padang pasir
jazirah Arabia menuju suatu lembah tanpa tumbuhan dan air. Tak terlihat
sedikitpun tanda kehidupan di sana.
Ibrahim
turun dari onta tumpangannya disusul isteri tercinta dan anaknya,
Ismail. Lantas ia tinggalkan di sana. Tinggallah kini Hajar dan Ismail
di tengah-tengah padang pasir yang panas itu. Ibrahim hanya menitipkan sebuah kantong berisi perbekalan makanan dan sedikit air. Hajar termangu. Ditatapnya mata Ibrahim sambil membisikkan pertanyaan, "hendak
kemanakah engkau, wahai Ibrahim. Engkau tinggalkan kami di tengah
lembah yang tak ada sedikitpun tanda-tanda kehidupan di sini?".
Ibrahim hanya memandang isterinya yang jelita itu sejenak,
lantas meninggalkannya tanpa menoleh lagi. Ibrahim terus berjalan tanpa
ragu. Ibrahim rupanya berfikir, apa yang dilakukannya untuk menunaikan
tugasnya di jalan Allah.
Hajar
kini sadar bahwa apa yang dilakukan suaminya semata-mata karena wahyu.
Sungguh suatu hal yang mustahil jika dirnya dibiarkan sebatangkara di
tengah padang pasir tandus yang panas dibakar ganasnya matahari sahara.
Perintah itu tentu bukan di tangannya, melainkan Allah Malikul Qohhar.
Maka tak sedikitpun ada rasa benci terhadap Ibrahim, suaminya. Hajar
mengerti bahwa ada sesuatu yang di luar nalar manusia. Pasti ada hikmah
yang bisa ia raup di kemudian hari.
Ia
tengadahkan tangan. Sambil menatap langit biru ia beucap lirih, "kami
kepunyaan-Mu ya Allah, lindungilah kami dari segala keburukan". Ia
percaya bahwa pertolongan dan kasih sayang Allah akan selalu mengiringi.
Ia tidak akan membiarkan syetan menguasai perasaannya. Ia juga tak
ingin iblis mengisi hatinya dengan dengki dan kebencian terhadap suami
yang meninggalkannya di lembah menakutkan itu. Karena Hajar yakin bahwa
Ibrahim tengah mengemban risalah dari langit.
Sesaat
kemudian tampak Ibrahim bersembunyi di balik bukit, mengawasi mereka
berdua. Langkahnya berhenti. Ia tengadah ke langit dan mendoakan Hajar dan putranya, Ismail. Lalu, Ibrahim berlalu.
#
Hajar
duduk menyusui anaknya, Ismail. Sudah dua hari perbekalan sudah habis.
Begitu juga dengan minuman. Terik mentari terasa mencakar ubun-ubun.
Rasa haus mulai menyerang mereka berdua. Tiba-tiba tangis Ismail pecahkan keheningan. Sebagai seorang ibu yang penuh kelembutan, naluri keibuan mendorongnya untuk bergegas mencari oase, orang-orang yang lewat, atau kafilah, hanya untuk meminta seteguk air. Tapi, tak seorangpun ia jumpai di tengah tanah yang kering itu.
Laksana prajurit, Hajar
terus berlari. Ia melintasi bukit Shafa, lalu ke pebukitan Marwa. Tidak
ada air. Ia lintasi lagi tanah sekitar bukit Shafa, tetap tak ada air.
Ia berlari lagi ke bukit Marwa, juga tidak ada apa-apa selain tanah dan
bebatuan tanpa sedikitpun celah-celah kehidupan di sana. Tapi Hajar
tetap berharap: jika ia melihat air, ia akan hampiri tempat itu dan
Ismail kecil yang harus pertamakali mereguk air itu.
Dari
jauh Hajar melihat suatu kehidupan. Hati kecilnya menduga itulah benda
yang ia cari-cari. Setelah tiba di tempat yang ia perkirakan air,
ternyata hanya seonggok lubang menganga. Begitu berulang-ulang hingga
enam kali putaran.
Pada
putaran yang ke tujuh Hajar duduk lemas. Sambil menahan dahaga ia duduk
di samping anaknya yang parau karena banyak menangis kehausan. Hajar
serahkan segalanya kepada Allah, sebab hanya Dia-lah yang menciptakan
air dan seluruh apa yang ada di langit dan bumi. Tiba-tiba Ismail menyentakkan kakinya ke tanah yang berpasir itu. Ismail menangis sekuat-kuatnya, rupanya Ismail kecil tak mampu menahan panasnya pasir. Di saat yang sama, air menyembur di sela-sela kakinya.
Hajar
terkejut. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Allah
itu. Lantas Hajar merentangkan kedua belah tangannya dan menyodorkannya
ke mulut Ismail, lalu ke mulutnya sendiri, "Segala puji dan syukur hanya milik Allah, Tuhan semesta alam".
Sungguh luar biasa hebatnya, sejak saat itu air yang sekarang disebut air zamzam itu menyihir
orang-orang untuk mendapatkannya. Tidak seorangpun yang tidak ingin
mendapatkan air penuh berkah tersebut. Bahkan burung-burung pun datang
menyambar, dan para kafilah berduyun-duyun melingkari lembah.
Hajar telah menunaikan kewajibannya mendidik Ismail menjadi teladan untuk kaumnya bahkan untuk tiap generasi sesudahnya.
#
PADA
suatu malam, Ibrahim bermimpi. Dalam mimpinya Ibrahim disuruh untuk
menyembelih Ismail, anaknya yang semata wayang itu. Ibrahim resah.
Sepanjang waktu perasaannya diliputi gelisah tak menentu, apakah mimpi
ini benar-benar suatu hidayah dari Allah, ataukah godaan syetan untuk
menguji keimananya? Atau mungkinkah mimpi itu hanya bunga tidur belaka
yang tiada artinya sama sekali? Perasaan Ibrahim tidak menentu. Apakah
begitu tega seorang ayah menyakiti anaknya dengan cara yang tidak
manusiawi? Inikah buah dari pengorbanan yang ia jalani dalam mengarungi
biduk rumah tangganya bersama Hajar?
Konflik
bathin mendera pikirannya. Namun mimpi pada malam-malam berikutnya
menguatkan dugaan bahwa mimpi tersebut adalah wahyu Allah. Dia Maha
Kuasa dan Maha Berkehendak.
Di
pagi hari yang cerah usai mimpi malam yang mencekam itu ia ceritakan
kepada Ismail. Tanpa dinyana, Ismail menatap mantap dengan jawaban penuh
keyakinan, "ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan. Insya Allah ayah
akan melihat ananda sebagai anak yang sabar".
Saat Ibrahim meminta pendapat Hajar, isterinya itu malah tersenyum lega. Sang ibu tidak goncang saat mengetahui perintah ilahi tersebut. Kasih sayang, kelembutan, kesabaran tak mempengaruhi emosi keibuannya.
Yang ia lakukan adalah berserah diri kepada Allah dengan segala
kerendahan hati. Sejarah mencatat keberhasilan Hajar dengan keimanannya
yang tangguh. Allah memerintahkan menyembelih Ismail, maka sejak saat
itu kaum Muslimin menyebutnya sebagai hari Nahr (hari berkurban) bagi kaum Muslimin.
Seorang ayah yang berbakti, seorang ibu yang taat, dan anak yang sholih, siapakah yang tidak menginginkannya?
Tahiyyatan lahaa alfa tahiyyatin fii kulli zamaan wa makaan.
Penulis aktif dalam dakwah cyber: http://religiusta.multiply.com/journal/item/41
Tidak ada komentar: